15 Desember 2012
Gedung Pusat Perfilman Usmar Ismail, Rasuna Said Kuningan.
Sebuah opening dalam acara SuksesMulia EnterTRAINment. Sosok lelaki multi talent, Indrawan Nugroho, berdiri di atas panggung. Ruangan gelap, hanya lampu sorot panggung yang meneranginya. Mengisahkan cerita tentang kopi dan cangkir sebagai wadahnya.
Bermula dari beberapa pemuda yang berkeinginan untuk mengunjungi Profesornya. Di rumahnya, mereka disambut sangat ramah. Satu per satu mulai menceritakan berbagai hal yang sudah dilaluinya. Mulai dari pekerjaan, pencapaian, prestasi, masalah hidup, ketakutan, kebimbangan, kesedihan dan lainnya.
Sambil menunggu semua giliran bercerita, profesornya menuju ke dapur. Ia hendak menyiapkan kopi. Di atas nampan diletakkan beberapa cangkir. Satu cangkir sengaja dilebihkan, dari jumlah total tamu yang ada. Cangkirnya pun bermacam-macam. Ada yang terbuat dari keramik yang mahal, sampai dengan yang paling sederhana. Kopi di taruh dalam sebuah teko. Kemudian dibawanya nampan itu menuju ke ruang tamu.
Tampaknya topik perbincangan sudah melebar ke mana-mana, dan saling memperdebatkan. Kopi disuguhkan, satu per satu mulai menuangkanya dalam cangkir yang dipilihnya. Akhirnya tersisa satu cangkir, yaitu paling biasa dan sederhana. Saat semua mulai menikmati kopinya, sang Profesor pun mulai berbicara.
Profesor menganalogikan pembicaraan mereka dengan kopi yang disuguhkan. Kopi ibarat kehidupan, sedangkan cangkirnya adalah kesuksesan atau pencapaiannya. Kesuksesan sendiri bermacam-macam bentuknya, seperti halnya cangkir. Sementara isinya, semua mendapatkan kopi yang sama. Terkadang mereka terlalu sibuk memilih dan meributkan cangkirnya, sehingga lupa akan esensi kopinya. Kopi memang butuh wadah. Namun terlalu fokus dan meributkan wadah, sering membuat orang lupa menikmati kopi itu sendiri.
**********
18 Desember 2012, Tifa Building, lantai 3.
Siang hari, memaksakan diri untuk menulis. Rasa kantuk yang tak tertahan akhirnya runtuh oleh kopi. Menyesap isinya pelan-pelan cukup menginspirasi ide penulisan cerita ini. Aku sangat menikmatinya, tanpa sedikitpun meributkan wadahnya. Lebih tepatnya memang tidak punya cangkir atau wadah sendiri. Chococcino ku berada dalam paper cup. Sama dengan yang orang-orang bawa dari pantry. Apakah mereka juga meributkan wadahnya? Sepertinya tidak. Bahkan tempat sampah sudah menggunung dengan paper cup bekas pakai.
Meributkan paper cup bukan suatu bahasan menarik, bahkan dikesampingkan nampaknya. Kalaupun habis, tinggal berteriak, maka OB datang membawakannya. Bagaimana dengan isinya? Kau hanya perlu menebaknya apakah Cappuccino, Latte, Classic, Chococcino atau Choco Latte. Hanya itu pilihannya. Bahkan rasanya sudah mengikuti default coffee machine nya. Tempat yang sama, rasa kopi yang sudah ditentukan, tanpa pengorbanan menikmatinya alias gratis. Mungkin itu jawaban mengapa orang tidak meributkannya.
Cerita tentang kopi mengingatkanku dengan teman di seberang. Hai Take Djuastito, apa rasa kopi yang dinikmati bersamaan dengan lembaran halaman buku yang kau baca? Apa ceritamu hari ini?
Comments
Post a Comment