Aku memang sedang tidak baik-baik saja. Tidak mau menyebutnya sebagai kegagalan juga. Ini adalah tentang semangat menulisku yang tiba-tiba drop. Seperti cerita postingan sebelumnya, pada akhirnya aku tidak jadi mengikuti lomba menulis cerpen yang bertema ‘creative comedy’.
Mengapa? Sudah tidak komitkah dengan janji terhadap diri sendiri?
Berkali-kali aku sudah mencobanya. Mulai dari mengadaptasi becandaan anak-anak OSS yang memang gokil, sampai mencoba memancing dari beberapa referensi cerita lucu. Hasilnya nihil. Bukan tidak lucu sih, tapi kok nggak nyaman ya dengan tulisan sendiri. Bukan ide original yang muncul dari kepala. Seperti bukan diri sendiri dan tulisan serasa tidak bernyawa…halah! Berhubung tidak enjoy, akhirnya setiap menulis tidak pernah selesai. Cuma bisa setengahnya saja dari yang ditentukan. Yah, sudahlah…
Ada hal lain yang sedang mencuri perhatianku. Pas banget lagi momentnya. Sempat membuat resah. Terus memikirkannya sepanjang perjalanan di tol Cipularang, perjalanan dari Bandung menuju Jakarta. Semua bermula dari sebuah buku yang kudapat saat bazar di Gramedia BSM. Judulnya, ‘How to be a Food Stylist’. Kali ini passion for food kembali menyala-nyala. Baru tahu juga kalau ada profesi ini ternyata.
Beberapa hari cuma browsing gambar makanan yang menggiurkan. Dari sisi makanan yang terlihat menggoda, garnish yang cantik, sisi fotografinya, sampai tema makanan. Semua menyenangkan. Hal-hal yang paling kusenangi seperti terakomodir di sana. Bahkan sampai terbersit pertanyaan di pikiran, “nulis apa foodstylist ya?”
Hebohnya lagi, minggu depannya ada cooking class di Ubud Bali. Satu hal ini memang sudah lama aku persiapkan. Jadi sangat kebetulan, membuatku semakin asik kasak-kusuk dan tidak bisa jauh dari makanan. Hunting props akhirnya jadi agenda utama setelah acara ‘cooking class’ berakhir.
***
Ada rasa bersalah ketika aku belum menghasilkan suatu tulisan selepas ikutan workshop. Pertengkaran antara hati dan pikiran terjadi. Terbebanikah aku? Bukankah aku seharusnya menulis dengan enjoy dan happy? Apakah passion tentang segala sesuatu yang berbau makanan sebenarnya adalah pelampiasan ketika aku tidak bisa merampungkan tulisanku?
Bukan pelampiasan. Masak dan makanan sudah mengalir dalam darahku, kudapatkan dari Ibu. Ibu memang wanita yang mempunyai rasa dan feeling tajam dalam memasak. Aku tidak terima ketika ketertarikan terhadap kegiatan memasak dibilang hangat-hangat tahi ayam. Bahkan sudah ada lama sebelum aku mulai menyukai kegiatan menulis. Memasak seperti kemampuan alami yang kupunya, layaknya naluri perempuan. Sesuatu yang aku tidak perlu belajar keras. Cukup memperhatikan dan mempraktekkan untuk mengasah insting memasak.
***
Tiga Minggu berikutnya…
Ternyata kangen nulis lagi. Sudah lama tidak update tulisan di blog. Sepintas jadi ingat kembali saat pertama kali membuat blog. Tidak muluk-muluk. Cuma ingin memindahin apa yang terlintas di pikiran. Bercerita tentang hal yang sudah dilalui.
Layaknya anak kecil yang tengah bermain ular tangga. Memulai dari start, melangkah sesuai dengan angka yang tertera di kocokan dadu. Saat tengah melangkah dan sampai tujuan di angka tertentu, bisa saja terus melaju tanpa hambatan. Saatnya bertemu tangga, menaikinya dengan penuh sukacita. Tapi bertemu ular, turun dan mundur juga pilihan yang tak bisa dihindari. Jadi ini bukanlah kegagalanku dalam menulis. Hanya ketidak mampuanku dalam menyikapi sesuatu yang membuatku tidak nyaman. Aku hanya butuh berkompromi di antara keduanya, ketika aku tidak bisa meninggalkan semuanya.
Hei…bukankah ini bagian lika-liku prosesnya. Jangan berhenti lama di titik ini. Aku hanya butuh kocokan dadu lagi untuk melangkah. Menemukan tangga itu untuk mencapai puncaknya. Semua sudah dimulai. Jadi berharap kelak ular itu bukan menakutiku. Sebaliknya semakin membuatku kencang melangkah.
Cheers
Comments
Post a Comment