Melengkapi perjalanan ke Jogja kali ini bersama keluarga, rasanya ada yang kurang kalau belum ke Taman Sari. Menaiki andong menuju arah Keraton, kita dibawa melewati komplek dengan bangunan yang dikelilingi tembok besar layaknya benteng. Sampai di Taman Sari kita disambut rombongan guide local yang sepertinya penduduk sekitar. Merasa belum perlu, setelah membayar tiket maka kita segera menikmati obyek wisata berupa kolam tempat pemandian raja dan selir jaman dahulu. Tempat pemandian dibagi menjadi beberapa bagian untuk raja sendiri, para selir dan putra-putri raja.
Nampak seorang Bapak tua yang dari tadi mengikuti rombongan kita. Dia memberikan beberapa informasi dan cerita tanpa kita minta. Cukup menarik dan lama-kelamaan akhirnya kita memutuskan minta untuk ditemani agar mendapatkan cerita komplit dari kisah raja-raja sendiri sampai dengan detail dan konsep serta desain bangunan yang memah oleh tembok berwarna krem yang mengitarinya.
Kupikir cerita tentang Taman Sari hanya berakhir disini, dan ternyata salah. Aku salah besar!! Justru ini adalah awal tempat yang mengarahkan ke cerita selanjutnya yang selama ini aku belum pernah mendengarnya. Beranjak dari gapura agung berwarna krem yang didominasi ornamen bunga, kita dibawa menuju pesanggrahan tempat Sultan biasa bersemedi. Bangunan-bangunan lama mulai kita singgahi satu persatu. Suasana di dalamnya terasa hening.
Pemandian Taman Sari |
Sejenak sempat terfikir untuk mengakhiri cerita ini karena merasa berat kalau liburan benar-benar dijejali dengan cerita sejarah yang cukup panjang dan rumit.
Tapi entahlah, begitu guide mengajak masuk di dalam dan memperlihatkan sebuah dapur jaman dulu banget yang menurutku unik, begitu juga dengan tungkunya tiba-tiba saja pikiranku jadi berubah. Kebalikannya, jadi pengen tau cerita selanjutnya. Bentuk tungkunya mengingatkanku pada konsep kuliner sekarang yaitu "Pizza tungku", sebagai gantinya oven untuk memanggangnya. Semua dibuat dengan dinding yang serba tebal. Kokoh memang. Bahkan bagian depan tidak begitu menampakkan bahwa sebelumnya sempet terkena badai abu saat Merapi meletus. Selain itu terdapat beberapa ruangan bersekat yang konon digunakan Sultan sebagai tempat bersemedi atau memikirkan strategi untuk perang.
Desain dan Konsep Bangunan |
Menuju Sumur Guling
Keluar dari pesanggrahan, kita berjalan melewati perkampungan rumah penduduk yang masih berada dalam kompleks Taman Sari. Seperti keluar dari peraduan yang sarat akan cerita sejarah menuju masa sekarang yang penuh dengan warna dan kreatifitas yang tiada batas. Hal ini bisa dilihat di sepanjang rumah-rumah penduduk, yang dihias dengan apik dan menarik dengan gambar dan benda-benda unik serta kerajinan yang dijual.
Sesampai di tempat yang dimaksudkan, guide mengarahkan kita untuk mengikuti turunan anak tangga. Kita dibawa masuk menyusuri lorong-lorong yang cukup besar. Tak salah lagi kita memang sedang menuju ruangan bawah tanah. Beruntung bahwa kita melewatinya di siang hari, walaupun gelap setidaknya rasa takut tidak begitu menggelayuti. Kebetulan banyak rombongan lain yang kita temui di sepanjang lorong itu. Tiba di sebuah ruangan yang berbentuk lingkaran dengan banyak jendela disekelilingnya. Ini adalah masjid bawah tanah dan ruang ibadah keluarga. Ruangannya memang didesain seperti itu sehingga ketika imam memimpin sholat suaranya dapat terdengar dengan baik ke segala penjuru. Tentu saja karena tidak ada tembok penghalang yang akan memantulkan suara.
Bagian tengahnya sendiri terdapat sebuah tempat yang berbentuk persegi dengan lima anak tangga di sekelilingnya. Di bawah nya sendiri adalah bekas sumur yang mungkin digunakan untuk mengambil air wudlu. Sesaat setelah menaiki anak tangga, menengadah ke atas melihat birunya langit dan memandang sekeliling, memaksaku mengingat sesuatu yang sepertinya pernah aku lihat tempat ini sebelumnya. Akhirnya aku baru sadar bahwa ini adalah salah satu tempat dimana video klip "Yogyakarta"nya KLA Project di buat. Yayaya...akhirnya aku tahu, disinilah tempat itu. Norak ya, tapi seperti ada kepuasan bahwa aku mengetahuinya tanpa kesengajaan. Terlepas dari rasa bingung dan merasa agak aneh tentang konsep masjidnya sendiri.
Balik menyusuri sepanjang lorong menuju arah keluar. Lumayan dengan peluh yang membasahi. Begitu sampai di pintu keluar, aku menuju ke pinggir sambil melihat ke bawah. Pemandangan yang cantik, sebuah perkampungan dengan bangunan klasik. Sebuah aktifitas kehidupan di dalamnya yang terlihat sangat natural dan alami.
Akhir dari perjalanan ini saat sampai di gerbang utama Taman Sari tapi dari arah yang berbeda. Saatnya Bapak yang menjadi guide kita berpamitan dan mendapatkan jerih payahnya membagi cerita yang cukup menyenangkan. Perlahan langkahnya mulai menjauh dari kami. Ada semacam kepuasaan tersendiri dengan pekerjaannya dan saat dia kembali berkumpul dengan teman-teman seprofesinya yang lain. Penampilannya yang sangat sederhana, namun tidak sesederhana petualangan yang kami lalui. Jauh dari kesan komersil, karena memang dia tidak mematok harga khusus kepada setiap tamunya. Berapapun yang dia dapat, nilai itu yang menyiratkan seberapa besar dia bisa memberikan kepuasan kepada kami.
Comments
Post a Comment