Warung mas Boy, Pleburan Semarang
Tempat menikmati PeLaNgi NaTaSya (temPe Lalapan kemaNgi, Nasi Tahu Syambal). Begitu mas Boy menamai menu makanannya. Ditemani dengan kepulan nasi hangat, benar-benar menghangatkan suasana tenda warung makan pinggir jalan, layaknya keluarga. Menghilangkan rasa penat, sekaligus lapar setelah seharian sibuk dengan tumpukan pekerjaan.
Tempat yang menjadi saksi saat Tio sedang tidak fit karena kecapean. Mas Aji ditengah kegalauan dan cemas mempersiapan pernikahannya. Wenny yang masih susah membendung rasa kangen dengan keluarga, Ucup harus berjauhan dengan pacar, karena ini adalah pertama kalinya mereka hidup di luar kota. Cukup jauh dari Depok. Aku sendiri, larut dengan suasana dan ingin merangkainya dalam cerita.
Saat pesanan makanan tiba, datanglah lelaki yang sudah tua. Wajah sayu dengan rambut yang sudah memutih. Kerutan di kulitnya menunjukkan banyaknya waktu yang sudah dilaluinya dalam hidup ini. Kurang lebih 60 tahun umurnya. Membawa kantong plastik hitam berisi rambutan, menawarkannya pada kami. Semuanya ada empat ikat, dengan harga per ikatnya lima ribu rupiah.
Agak heran juga, melihat Mbah menjajakan rambutannya di tempat ini. Warungnya tidak berada di jalan yang ramai dilalui orang. Bukan juga rute yang dilalui kendaraan umum. Anak-anak kampus dengan sepeda motor yang biasanya memenuhi warung. Jam menunjukkan angka delapan. Hujan baru saja selesai mengguyur daerah ini. Dinginnya malam tidak mengurungkan Mbah, bahkan dengan langkahnya yang agak susah payah.
Akhirnya kami patungan untuk membeli semua rambutan.
Trenyuh melihatnya. Maaf Mbah, kami hanya bisa membeli rambutan yang hari ini mbah jajakan. Berharap agar Mbah cepat pulang dan istirahat. Kami tidak tega melihat bagaimana susah payahnya. Sekiranya memang uang hasil jualan itu untuk makan, semoga mbah juga bisa merasakan nikmatnya Pelangi Natasya.
Kami masih berproses dan belajar dalam pekerjaan ini, Mbah. Bila waktu itu telah tiba, dan Allah melapangkan rezeki, semoga kami mengingat hari ini. Mengingat orang-orang yang bernasib seperti Mbah. Lebih mensyukurinya dengan berbagi kebahagiaan.
Terimakasih, Mbah sudah memberi pelajaran kami hari ini. Malu rasanya ketika kami yang masih muda suka mengeluh dengan pekerjaan yang menumpuk. Mengeluh dengan semua rasa capek. Sementara Mbah masih bekerja di usia senja, saat harusnya sudah beristirahat. Setiap pekerjaan memang ada resikonya masing-masing bukan? Bahkan sebetulnya kami pun mengetahuinya, tapi tetap saja membahasnya. Kalau terus-terusanan mengeluh, kapan bersyukurnya???
TselHW/NPI-CJ/2011
Weeeh mas boy, inget makan telkomsel (Telor komplit selalu)dan setiap pesen tempe tahu selalu ga ada,..
ReplyDelete