Udara gerah sekali pagi ini. Kulihat jam tangan menunjukkan pukul 08.40 WIB. Agak ragu sebenarnya hari ini untuk berangkat ke kantor. Semenjak diumumkannya akan ada demo buruh besar-besaran. Terbayang akan suntuk selama di perjalanan. Mau tak mau, imbas macet adalah hal yang tak bisa dielakkan lagi.
Pagi ini sebelum demo dimulai saja, kemacetan jalan sudah menghadang. Metromini 640 arah Tanah Abang yang kunaiki, sibuk berpindah dari jalur umum jalan raya ke jalur busway. Naik turun melewati separator busway bukan hal yang membuatku nyaman. Belum lagi bulir keringat yang sudah mulai membasahi tubuh. Bukan Jakarta kalau tidak begini situasinya.
Gedung Jamsostek di Gatot Subroto sudah nampak di depan. Saatnya untuk membayar ongkos metromini ke abang supirnya. Berhubung tidak ada kernet, mau tidak mau harus berjalan ke depan langsung bayar pada supirnya. Di jembatan penyeberangan di sinilah biasanya banyak penumpang yang akan turun. Ketika hendak membayar ongkos, dari belakang seperti ada orang yang mendesakku. Sepintas kulihat dia juga akan membayarkan uangnya.
Sosok laki-laki berkemeja biru muda dengan bawahan celana jeans. Umurnya tidak lebih dari 35 tahun, nampak tergesa-gesa. Aku sempat agak emosi ketika dia sekali lagi mendesakku. Gak sabaran banget sih gumamku dalam hati. Bahkan sempat juga kakiku terinjak sepatunya. Akhirnya dia yang mendahuluiku memberikan ongkos. Aku pun selesai membayarkan uangnya dan bersiap untuk turun.
Lelaki itu masih disebelahku, menghadap pintu keluar. Bukannya bergegas turun, tapi malah memarahi seorang ibu yang duduk paling dekat dengan pintu keluar.
“Sudah, Ibu diam aja deh!”, suaranya memaki dengan intonasi tinggi. Aku makin merasa tidak sabar berurusan dengan lelaki ini.
“Mas, mau turun nih, bisa kasih jalan ngga?”, kataku setengah ketus. Akhirnya aku diberi jalan, sementara lelaki itu masih bersitegang dengan ibu tadi. Sepintas kulihat muka ibunya terlihat ketakutan, sambil menggerakkan tangannya, menunjuk tas ransel di punggung lelaki di depanku. Mengisyaratkan bahwa sakunya telah terbuka, dan ada barang yang diambil orang lain.
Spontan aku memegang ranselku, yang dari awal naik sudah kupindahkan dan kudekap di depan dada. Laptop yang pertama aku raba, dan Alhamdulillah masih ada. Aku baru sadar bahwa telah terjadi pencopetan. Pelakunya tak lain lelaki yang tadi berusaha mendesakku. Tampaknya tak sendirian dia melakukan aksi itu.
Kakiku terlanjur berpijak di jalan aspal, setelah sadar bahwa aksi kriminal baru saja terjadi. Belum sempat aku membalikkan badan, metromini sudah melaju lagi. Mataku melihat pria berkacamata yang sedang mengaduk-aduk isi tasnya di sebalah jembatan penyeberangan. Ternyata dia korbannya.
Mataku masih berusaha melihat laju metromini yang mulai melambat sekitar 20 meter di depanku. Posisi metromini masih berada di tengah jalan raya dan tiba-tiba berhenti. Penumpang mulai turun semua tampaknya. Sepertinya orang lebih menghindar dari masalah tersebut daripada harus membela ibu tadi. Faktor keamanan pastilah yang dipertimbangkan, mengingat pelakunya bukan hanya satu.
Seorang bapak penjual roti di depanku bahkan nyeletuk dengan muka polosnya,
“Di dalam isinya copet semua ya mba?”
Aku bingung dan hanya bisa menjawab, “Iya, mungkin Pak.”
Sepanjang jalan dari gedung Jamsostek menuju ke Tifa, pikiranku masih tertuju pada keadaan yang baru saja ku alami. Aku masih belum bisa menerima kejadian tadi. Dan sekarang aku mulai menyalahkan sopirnya juga. Tadi waktu aku memberikan ongkos, dia tidak terpengaruh dengan peristiwa yang terjadi di dalam metromini. Harusnya kalau dia peduli dengan kenyamanan penumpangnya, dia akan melakukan sesuatu. Paling tidak berteriak menyuruh agar copet tadi turun. Sebaliknya, malah terkesan menikmati adegan tadi. Jadi pikiran jahatku menyimpulkan bahwa mereka berkomplot.
Bisa ya orang berbuat seperti itu. Satu sisi sopirnya mencari rezeki dari penumpangnya. Di sisi lain ia merelakan ketidaknyamanan penumpangnya, bahkan di eksploitasi oleh pihak pelaku kriminalitas. Seolah memberikan ruang dan kesempatan bagi tindak kejahatan. Kepuasan seperti itukah yang mereka harapkan? Sudah tidak adakah cara lain yang lebih manusiawi untuk memberikan penghidupan bagi diri dan keluarganya?
Semoga tidak terjadi apa-apa dengan Ibu tadi, lindungilah ya Allah…
Comments
Post a Comment