Sampai detik ini, aku masih memikirkan tentang motivasi terbesarku untuk menulis. Sesuatu yang menggerakkan, sehingga ada keinginan kuat untuk menulis.
Ada kejadian yang pada akhirnya membuatku berfikir. Kurang lebih sekitar setahun yang lalu. Seperti biasa ketika aku menanyakan kabar Mbakku via telp, dia menceritakan telah bertemu dengan salah satu guruku SD di dealer waktu servis motor.
“Nov, ditakokno Bu Cicik. Gurumu SD”,*1 Mbakku mengawali cerita.
“Saiki kerjo nang ndi? Jek seneng nulis rak? Sing mbiyen kae tau melu lomba ngarang” *2 Mbakku menirukan pertanyaan Bu Cicik yang diajukan padanya.
DEG…”Kok masih ingat ya…” bisikku dalam hati. Kejadian itu sudah belasan tahun yang lalu.
“Memangnya yang diingat banget tentang aku cuma lomba ngarang itu ya?” Sedikit merasa bersalah, karena aku sendiri telah lama melupakannya.
Sejenak pikiranku kembali melayang.
Sebenarnya hatiku berontak kalau ingat kejadian waktu SD. Saat itu, beliau memang wali kelasku. Aku menduduki peringkat ke 3 saat kelas 5. Menjelang kenaikan kelas 6, diadakan lomba mata pelajaran tingkat Kabupaten. Biasanya yang diseleksi peringkat tiga besar untuk mewakili setiap mata pelajaran. Dina menjadi wakil sekolah untuk lomba matematika. Ima mewakili bidang studi IPS, dan Toto untuk mata pelajaran IPA. Aku terlewatkan dalam hal ini. Bu Cicik lebih memilihku untuk mewakili lomba mengarang. Apa alasannya, aku tidak tahu. Yang kutahu adalah, aku sama sekali tidak bangga melakukannya!
Menjadi wakil sekolah untuk lomba mata pelajaran adalah suatu hal yang paling didambakan pada waktu itu. Ketika bisa mewakili, maka kami akan dinilai sangat berprestasi dan paling mumpuni dalam mata pelajaran tersebut. Mengarang bukanlah mata pelajaran yang istimewa menurutku. Setiap anak bisa melakukannya. Mengarang hanya bagian yang melengkapi setiap tes atau ujian pelajaran Bahasa Indonesia. Sama seperti aku, hanya sebagai pelengkap saja dalam perlombaan itu. Bukan pemain utama dalam lomba yang membawa nama sekolah. Seperti itulah pemikiranku waktu itu.
Saat yang lain harus latihan dan merelakan waktu tambahan sesudah jam sekolah usai, tidak demkian halnya denganku. Bu Cicik justru memboncengkan aku dengan sepeda motor bebeknya, menuju ke beberapa perpustakaan mencari referensi untuk bahan mengarangku. Tema yang ditentukan adalah tentang kesehatan. Aku harus menuliskannya dalam sepuluh halaman folio. Tulisan tegak bersambung, tanpa adanya kesalahan dalam penulisan. Saat itu belum ada tip-ex seperti sekarang. Jadi ketika ada tulisan yang salah, maka aku harus menyalin kembali halaman itu. Hal yang sangat tidak mudah. Butuh ketelitian, kesabaran, dan kerapian. Bu Cicik hanya mengawasiku, melihat sekilas, menambahkan atau mengoreksi saja. Tidak ada perhatian yang berlebih seperti lainnya. Aku dibiarkan bermain-main dengan imaji dan kata-kata, hanya ditemani referensi buku yang ada. Jujur, aku iri dengan yang lainnya. Kabar buruknya, aku tidak meraih penghargaan apapun dalam lomba itu. Setelah itu hanya berlalu begitu saja.
***
Saat masuk SMP, setiap melewati majalah dinding sekolah, bisa dipastikan aku berhenti di depannya. Mengamati perubahan artikel setiap baru diterbitkan. Berharap bahwa namaku akan tercantum di salah satu karya tulisan. Apakah sebenarnya passion menulis itu sudah ada? Entahlah…
Aku tidak bisa mengikuti mading, karena aturan sekolah bahwa siswa hanya boleh memilih satu ekskul saja. Pilihan ekskulku waktu itu adalah elektro, sesuai keinginan Bapak. Bisa sih mengikuti, tapi tidak terlalu suka…hehe
***
Setelah bekerja, kabar baiknya aku mendapatkan hadiah tas laptop ransel warna coklat. Benda yang kubutuhkan dengan warna kuinginkan, persis kudapat saat November pada ulang tahunku tahun kemarin. Seperti menghadiahi diri sendiri dengan cara yang sama sekali tidak terduga.
Awalnya cuma iseng ikutan lomba menulis yang diselenggarakan oleh kantor. Diadakan dalam rangka memeriahkan hari Pahlawan. Pengiriman naskahnya sendiri sudah mepet banget sama deadline. Beberapa menit saja, sebelum jam 12 malam pada tanggal yang ditentukan.
Sama sekali tidak menduga bakalan menang. Sehari sebelum pengumuman, sempat dihubungi panitia, naskahnya masuk nominasi. Tetapi ada bagian yang harus diedit alias disensor demi menjaga nama dan kode etik perusahaan. Rejeki memang tidak tertukar dan tas itu sebagai bukti kemenangan. Semakin tidak percaya dan terus bertanya pada diri sendiri, “emang bener ya bisa nulis?”
Sejak itu mulai menulis lagi, untuk membuktikan bahwa aku memang bisa menulis. Alhamdulillah, tahun ini bisa ikutan ‘writing workshop’, dan nambah teman baru lagi dengan hoby yang sama. Thanks to Wenny atas infonya :D
PS: buat Pakdhe Ro, tulisan ini untuk menjawab pertanyaan apa alasan aku resign dari tempat kerja sebelumnya. Ada ruang dimana aku masih sempat menulis dan melunasi keinginan yang belum sempat kulakukan. Semoga bisa konsisten, Insya Allah. Nanya lagi, MBAYARR!!
______
*1 Nov, ditanyain sama Bu Cicik, gurumu SD
*2 Sekarang kerja dimana? masih suka nulis ngga? yang dulu pernah ikutan lomba ngarang
Comments
Post a Comment