Ku buka pintu gerbang kosan Bunda. Seketika bunyi batu kerikil mengikuti setiap langkah yang ku jejakkan. Aku pun duduk di atas kursi bambu panjang yang terletak persis di depan kamar. Malas rasanya masuk ke kamar karena badan masih gerah.
Kudengar panggilan Ririe dan Cepi dari lantai atas. Segera aku berhenti membaca buku yang masih ada di tangan dan bergegas menaiki anak tangga. Aiihh...baik sekali mereka. Ternyata teh hangat manis dalam mug warna putih sengaja dibuat untukku. Yup, tadi aku memang sempat nitip ketika mereka keluar hendak mencari makan malam. Namun titipanku dimentahkan begitu saja dengan alasan toh masih bisa bikin sendiri kalau hanya sekedar teh hangat manis. Dasarr...tapi aku tahu mereka tidak ada maksud jelek selain hanya mengejek seperti biasa. Badanku memang sedang malas untuk bergerak, bahkan hanya untuk merebus air pun. Sementara di hari Minggu kemarin aku masih kalap memasak dengan tiga resep sekaligus secara maraton. Suatu keadaan yang sangat kontras memang.
Bergegas aku masuk ke kamar Ririe. Cepi menawarkan buah leci yang ia beli tadi sore. Warna merah kulit lecinya terasa menggoda. Ku kupas satu buah. Bau wanginya yang sangat khas membuatku tak pernah bosan dengan buah yang satu ini. Segera ku masukkan leci tadi ke dalam teh yang masih cukup panas. Sambil menunggu buahnya sedikit layu, kulangkahkan kaki menuju balkon belakang. Angin semilir benar-benar menolongku dari rasa gerah yang tak kunjung hilang dari tadi. Aku duduk di kursi plastik dan meletakkan mug di atas meja tempat biasanya Mbak Par menyetrika baju. Tempat ini memang salah satu pojok favoritku sekedar untuk baca atau nge-blog.
Ide teh leci ini memang kudapatkan ketika suatu malam ngobrol dengan teman lama di rooftop skydining plaza Semanggi. Sedikit berbeda memang rasanya, karena yang digunakan waktu itu adalah buah leci kalengan. Rasanya yang lebih manis dan seperti ada tambahan essens dalam buah lecinya. Tapi segarnya ngga kalah oke kok.
Kulanjutkan untuk membaca habis buku "Habibi & Ainun" yang sangat menginspirasi buatku. Sosok Bu Ainun, wanita cerdas yang sangat tau bagaimana cara mendampingi suaminya dan mengatur persoalan rumah tangga. Mampu membuat suasana rumah yang nyaman sehingga memudahkan suami memusatkan perhatian pada tugas-tugasnya, hingga pak Habibie menjadi orang besar. Tak heran ketika Bu Ainun nya telah tiada, betapa sangat kehilangannya Pak Habibie akan sosoknya. Patner sekaligus teman hidup yang sangat kompak dan mengerti satu sama lain.
Hmmm...bau rendang yang harumnya menusuk-nusuk hidung. Sepertinya persiapan untuk makan sahur nanti fajar. Besok hari Kamis kaaann...?? Yup..aku juga punya ikan bilis yang dimasak dengan cabe hijau. Ahhh...baunya sudah menggodaku. Tengok yuuu...mareeee..
PS : Thanks banget tante Ririe dan Cepi untuk teh dan leci-nya :)
Comments
Post a Comment